TAKLUKKAN PUNCAK: Budi menaklukkan puncak Kinabalu. (Budi R Soedarsa)
Cita-cita ini mungkin terbilang muluk-muluk: mendaki lima puncak gunung di dunia berketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut saat saya berusia di atas 50 tahun dan semua harus dirampungkan tidak lebih dari dua tahun!
MEI 2014 saya merampungkan pendakian ke Gunung Kilimanjaro. Pendakian itu bertema Semangat 50, yakni mendaki gunung saat usia lebih dari separo abad. Setelah itu, timbul cita-cita lain, yakni Semangat 50 Series, sebagaimana yang tertulis dalam pengantar tulisan ini. Pada September 2014, saya menyusun rencana perjalanan itu bersama operator pendakian gunung dari Bandung, yakni Indonesia Expeditions (Inex).
Rencana itu memang harus saya persiapkan jauh-jauh hari. Saya sadar bahwa menjaga kebugaran tubuh begitu terkait dengan faktor usia. Berdasar beberapa referensi yang saya baca, pendakian sebuah gunung salju yang memiliki ketinggian di atas 5.000 mdpl bisa dilakukan selama tiga bulan secara rutin. Frekuensi latihannya tiga kali seminggu dengan variasi latihan peningkatan stamina, peningkatan membawa beban, dan peningkatan volume paru-paru atau VO2 max. Latihan dapat berupa joging, aerobik, angkat beban, dengan variasi lain seperti naik sepeda atau berenang.
Berdasar rencana, setelah menaklukkan Kilimanjaro tahun lalu, pilihan kedua adalah Elbrus di Eropa, puncak tertinggi Eropa. Pendakian direncanakan pada Mei 2015. Sesuai diskusi dengan Inex, kami melakukan pemanasan pendakian. Yang dipilih adalah Gunung Kinabalu, Sabah, Malaysia.
Gunung itu bertinggi 4.095,2 meter di atas permukaan laut. Jalur pendakian berupa tangga-tangga batu alami dan tangga-tangga kayu yang sengaja dibuat pengelola untuk memudahkan para pendaki. Pendakian terasa berat. Sebab, anak tangga di jalur pendakian punya kemiringan 45–60 derajat di beberapa bagian. Cuaca di siang hari menuju sore sering turun hujan. Suhu berada di kisaran 5–15 derajat Celsius, bergantung ketinggian. Demikian pula angin. Kian ke atas, angin makin kencang. Kecepatannya bisa mencapai 40 kilometer per jam.
Pendakian di Kinabalu kami laksanakan pada 22–25 Februari. Selain saya, ekspedisi itu diikuti Oliver Hancock, ibu rumah tangga berumur 34 tahun yang punya dua anak. Lalu, ada Rifqi Rahman, 20, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, dan Andika Pratama, mountain guide dari Inex, 31. Ini perjalanan kedua saya bersama teman-teman yang berusia di bawah saya. Ini pula yang membuat saya bersemangat untuk lebih bisa berjalan beriringan dengan teman-teman yang seperti adik, bahkan anak, saya sendiri (anak saya yang tertua berumur 21 tahun).
Di Kinabalu, setiap pendaki harus disertai pemandu lokal. Kami mendapatkan Andy, 23. Di headquarter, kami mendapatkan name tag sebagai peserta pendakian. Kartu nama itu harus digunakan selama pendakian dan menjadi alat pemeriksaan pada setiap check point.
Dan, pendakian pun bermula di Timpohon Gate yang berketinggian 1.866 mdpl. Di sana, sudah banyak pendaki yang bersiap-siap. Kami pun melakukan persiapan sambil peregangan otot dan berdoa kepada Yang Mahakuasa. Tepat pukul 09.00, kami mendaki.
Target hari itu adalah Laban Rata, semacam base camp untuk memulai pendakian ke puncak (summit attack). Laban Rata berada di ketinggian 3.272 mdpl dan memiliki jarak sekitar 6 km atau 6.000 meter. Dekat bukan?Oooopsss..., jangan salah!
Berjalan kaki pada kondisi jalanan mendatar bisa menempuh jarak 6 kilometer dalam sejam. Namun, jarak 6 kilometer untuk mendapatkan jarak vertikal 1,4 meter bisa memakan waktu berjam-jam. Kami pun menempuhnya hampir enam jam. Bisa dikatakan cukup lama. Namun, apalah artinya cepat tetapi tidak bisa menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya dan mengabaikan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan bersama tim pendaki.
Betul kata teman saya yang pernah mendaki Gunung Kinabalu beberapa waktu sebelumnya. Bahwa kami akan menemui tanjakan berupa tangga-tangga batu saat lutut akan bertemu dagu. Artinya, jarak anak tangga satu ke anak tangga yang lain cukup tinggi. Saya bisa bayangkan, akan menjadi sebuah tantangan lain pada saat saya akan kembali turun ke kaki gunung. Yaitu, tantangan betis dan paha saat menerjang turunan.
Kami sampai di Laban Rata sekitar pukul 15.30. Kami langsung foto-foto karena cuaca cerah dengan sinar matahari yang sangat bagus.
Setelah beristirahat di pondokan mirip hotel melati yang nyaman, kami memulai summit attack pukul 02.30 dini hari. Jalur perjalanan summit attackini dapat dikatakan relatif aman karena kita tinggal mengikuti tali yang telah dipasang secara permanen oleh pengelola Gunung Kinabalu.
Sekitar 200 meter menuju puncak, jalur pendakian benar-benar sangat curam dengan pecahan bebatuan yang cukup banyak. Tepat pukul 06.40, kami sampai di Low’s Peak pada ketinggian 4.095,2 mdpl.
Kok low’s peak? Pasti ada yang high peak-nya, dong? Tunggu dulu. Low’s Peak bukan berarti puncak yang rendah. Namun, Low adalah nama pendaki yang kali pertama menginjakkan kaki di puncak Kinabalu, yakni Hugh Low, orang Inggris, pada 1851.
Sesampai di puncak Kinabalu, kami mengucapkan rasa syukur tak terhingga sambil menikmati keindahan ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa, Tuhan Yang Mahabesar. (Budi R. Soedarsa/c17/dos)