TENANG: Arsene Wenger saat memimpin Arsenal melawan Crystal Palace di Selhurst Park (21/2). (John Sibley/Reuters)
Karir kepelatihan Arsene Wenger tidak bisa dilepaskan dari dua klub: AS Monaco dan Arsenal. Nah, dini hari nanti Wenger memimpin Arsenal untuk menghadapi Monaco.
ARSENE Wenger langsung tertegun ketika drawing babak 16 besar Liga Champions mempertemukan Arsenal versus Monaco. Arsenal yang menjadirunner-up grup D di bawah Borussia Dortmund harus berhadapan dengan Monaco yang menjadi juara grup C.
Wenger mungkin tidak pernah membayangkan harus menghadapi mantan klubnya di fase hidup mati seperti ini. Maklum, bersama Monaco-lah Wenger bisa merasakan manisnya gelar juara Ligue 1 musim 1988. Padahal, kala itu dia dipandang sebelah mata. Wenger datang ke Monaco dengan berstatus sebagai bekas pelatih Nancy yang terdegradasi semusim sebelumnya.
Dalam situs resmi UEFA, pelatih 65 tahun tersebut mengungkapkan keterkejutannya saat Arsenal harus meladeni Monaco. Dia merasa aneh bertemu dengan mantan klubnya tersebut. ’’Jujur, ini kejutan. Saya tidak mengira bisa bertemu Monaco,’’ ujarnya. ’’Awalnya, saya mengira bertemu tim raksasa seperti Barcelona atau Bayern Muenchen,’’ lanjutnya.
Ingatan Wenger pun melayang pada musim 1987. Saat itu dia masih berusia 37 tahun. Suatu ketika, Wenger dipanggil Presiden Monaco saat itu, Jean-Louis Campora, untuk menukangi klub berjuluk Les Rouges et Blancs tersebut. Wenger yang belum punya pengalaman membawa tim juara langsung dipercaya memimpin skuad hebat Monaco.
’’Saya masih ingat, sebelum menunjuk Arsene, presiden memintaku untuk memegang Monaco. Dan, dia tepat memilih Arsene,’’ ujar pelatih Monaco musim 1987 Jean Petit.
Dilansir dari Daily Mail, Petit yang awalnya pelatih kepala langsung menjadi bawahan Wenger. Gebrakan pertama Wenger adalah merekrut pemain bintang dari luar Prancis. Sebut saja Glenn Hoddle yang digaet dari Tottenham Hotspur dan striker Mark Hateley dari AC Milan.
Hoddle menggambarkan sosok Wenger kala itu seperti saat Sir Alex Ferguson di Manchester United. Gaya Fergie –sapaan Ferguson– yang kerap memermak pemainnya di ruang ganti dengan hairdryer therapy pun diterapkan Wenger di Monaco.
’’Tidak sekadar untuk menakut-nakuti kami, dia juga bisa benar-benar marah di ruang ganti,’’ kenang pelatih timnas Inggris di Piala Dunia 1998 itu.
Hoddle memuji ketegasan Wenger yang berdampak signifikan bagi Monaco. Dalam kurun waktu sepuluh musim hingga 1994, Monaco tidak pernah absen dari tiga besar Ligue 1 Prancis.
Menurut dia, banyak hal berbeda yang dibawa Wenger saat menukangi Monaco untuk kali pertama. ’’Banyak metode baru yang dia berikan. Mulai metode latihan, lalu bagaimana mengatur perjalanan away kami dengan penerbangan carter. Arsene benar-benar mengubah Monaco menjadi tim yang lebih modern, tim yang lebih profesional,’’ bebernya.
Hoddle sudah tahu bagaimana sepak terjang Wenger sebelum didatangkan ke Louis II. Dia mendapat bocoran dari Jean-Marc Guillou, mantan pemain Nice yang sempat merasakan sentuhan tangan dingin Wenger. ’’Dia bilang padaku, Wenger itu pelatih muda yang pandai dan penuh ide. Dan, memang benar seperti itu,’’ katanya.
Efek hairdryer therapy Wenger diakui Hateley. Bahkan, Hateley mengatakan bahwa pembuluh darahnya hampir keluar begitu disemprot Wenger. ’’Apabila tidak mendapatkan permainan yang dia mau, dia seperti bom di ruang ganti,’’ ungkap mantan pemain yang kini berusia 53 tahun itu.
Kisruh di sepak bola Prancis pada musim 1994 membuat Wenger angkat kaki dari negerinya sendiri. Dia hijrah ke Jepang untuk membesut klub Nagoya Grampus Eight. Meski begitu, perpisahan tersebut tidak membuat nama Wenger meredup, paling tidak bagi kubu Monaco.
’’Wenger masih tetap dikenang di klub ini. Kepindahannya hanya berdampak pada hubungan baiknya dengan Presiden Campora. Perpisahan mereka seperti pernikahan yang sudah tidak berlanjut,’’ tegas Petit.
Total, Wenger memberi Monaco dua trofi selama 10 musim. Yakni, gelar juara Ligue 1 musim 1987–1988 dan Coupe de France 1990–1991. (ren/c17/ca)