MASA BERBELANJA: Atas, Nakamise,jalanan penuh toko depan kuil Sensoji Asakusa. Di tengah keramaian Shibuya.(Ariyanti K.R/Jawa Pos)
DUA pekan lalu, selama sembilan hari saya berada di Negeri Sakura atas undangan Kementerian Luar Negeri Jepang. Tiba Minggu (8/2), pulang Senin (16/2). Sebelum berangkat, sudah pasti saya browsing segala hal tentang Jepang. Termasuk spot-spot shopping beserta item yang menjadi must buy.
Dari situ saya tahu banyak second shop store besar yang menjual barang-barang preloved kondisi istimewa dengan harga terjun bebas. Mulai mainan anak, peralatan makan, sampai mantel-mantel musim dingin yang masih kece. Saya pun bertekad mendatangi salah satu dari toko itu begitu sampai nanti.
Namun, apa daya. Jadwal kegiatan yang begitu padat membuat saya tidak bisa menyisihkan waktu untuk mencari toko-toko itu. Meski begitu, saya tetap menyimpan asa bisa jalan-jalan di pertokoan Jepang. Pada hari ketiga berada di Tokyo, acara selesai awal sekitar pukul 18.00. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, bersama dua teman, kami memisahkan diri dari rombongan yang balik hotel untuk beristirahat.
Shibuya, Harajuku, Shinzuku, Ginza? Mau ke mana kami? Akhirnya, diputuskan Shibuya. Lokasinya tidak jauh dari posisi saat itu di Akasaka. Salah seorang escort Kanako Shiga berbaik hati menemani kami malam itu menikmati atmosfer gaulnya anak muda Jepang. Menuju ke sana tidak sampai 10 menit naik subway. Ada dua pilihan harga tiket yang tertera di mesin penjual. Tiket dibeli berdasar jarak yang dituju. Akasaka ada di stasiun kelima dan Shibuya stasiun pertama. Kami membeli tiket seharga 170 yen (sekitar Rp 18 ribu). Untuk jarak yang lebih jauh lagi, harga tiketnya 190 yen (sekitar Rp 20 ribu).
Pada jam bubaran kantor itu, subway full. Nyaris tidak ada ruang untuk berpindah 1 sentimeter pun. Tapi, kami menikmatinya. Bahkan, kami sempat selfie beberapa kali berempat. Tidak terasa gerah meski dempet-dempetan. Keluar dari stasiun, dingin yang selalu menemani sejak tiba di Jepang begitu terasa. Tiga derajat Celsius saat itu.
Namun, Shibuya tidak lantas menjadi dingin. Perempatannya yang sering disebut sebagai salah satu terbesar di dunia itu tidak henti menjadi lintasan ribuan orang yang didominasi anak muda. Jejeran mal besar dan kecil dengan lampu warna-warni yang gemerlap berebut perhatian untuk didatangi.
Sayang, karena cuaca, saya tidak banyak menemukan hip-nya Japanese styleyang begitu khas. Sebagian besar membalut tubuh dengan jaket tebal atau mantel. Beberapa di antaranya menutup wajah dengan masker untuk mengurangi rasa dingin. Saya sendiri tidak bisa lepas dari mantel, kupluk wol yang menutup telinga, kaus kaki tebal, sepatu bot, dan sarung tangan. Maklumilah, ini pengalaman winter pertama saya sebagai warga negara tropis.      
Teman saya dari Thailand, Ubon Chanpreechasmut, langsung meminta diantar ke toko kosmetik. Ubon ini lucu dan menyenangkan. Bahasa Inggris-nya minimalis. Tapi, dia punya rasa percaya diri tinggi. Dengan bahasa Tarzan dan Inggris sepotong-sepotong, hebatnya dia selalu mampu menyampaikan yang diinginkan.
Sepakat dengan Ubon, kami bertiga masuk ke toko kosmetik. Tidak terlalu besar, tapi barangnya banyak ragam. Tokonya begitu padat dengan jajaran produk yang semua menjanjikan pemakainya berkulit bersih, mulus, dan kehilangan tanda penuaan. Ubon rupanya sudah mempersiapkan diri dengan matang. Dia membuka gallery di handphone. Dia tunjukkan foto-foto produk kepada penjual. Banyak sekali pesanan teman-teman Ubon di Bangkok. Sepuluh tabir surya SPF 50++, compact powder, hingga foam wajah. Semua merek asli Jepang yang namanya sudah mendunia.
Masuk ke toko itu, saya rasanya juga jadi panik sendiri. Barang-barang yang selama ini saya temui hanya di sista-sista online shopping kini nyata di hadapan dengan harga separo lebih murah. Banyak gadis Jepang yang masuk ke toko itu. Ada beberapa yang menarik perhatian. Mereka datang dengan wajah polos. Di dalam mereka menggunakan berbagai tester untuk memulas wajah. Eyebrow mascara, bedak, lipstik, sampai eye shadow. Keluar toko sudah jadi cantik deh.
Pramuniaga toko begitu ramah. Mereka memang tidak bisa bahasa Inggris aktif. Tapi, itu bukan halangan besar. Tinggal tuju rak produk yang ingin dibeli. Untuk mendapatkan merek yang kini sedang menjadi rujukan perempuan di Jepang, tinggal bilang saja, ”I want to look kawaii (cute) like Japanese girl”. Mereka dengan ramah akan memilihkan barang, lalu berkata, ”This good, good. Mau nekat memilih sendiri rasanya susah karena semua keterangan barang tertulis dalam huruf Jepang.
Tidak terasa dua jam berada di situ. Ubon sudah membawa dua plastik besar. Saya membawa satu plastik. Di kasir tertera tulisan bagi turis dengan pembelanjaan di atas 5.401 yen tidak perlu membayar pajak 8 persen. Syarat utamanya, barang yang dibeli tidak boleh digunakan di Jepang. Barang-barang itu dimasukkan ke dalam sebuah plastik bening bersegel dengan tulisan yang menegaskan tas baru boleh dibuka begitu tiba di negara asal.
Menurut Kanako, itu adalah kebijakan pemerintah untuk memanjakan turis. Jika yang membeli produk warga Jepang asli atau turis yang tidak bisa memastikan barang tersebut tidak digunakan saat masih di sana, mereka wajib membayar pajak 8 persen. Tidak semua toko menyediakan fasilitas itu. Yang ada biasanya memajang tulisan tax free.
Di paspor akan dijepret struk pembelanjaan. Mungkin tujuannya memudahkan pemeriksaan di imigrasi dan memastikan bahwa barang itu benar tidak digunakan di Jepang. Tapi, berdasar pengalaman saya melewati imigrasi saat pulang, tempelan struk tersebut tidak berguna apa-apa.
Keluar dari toko, dingin semakin terasa. Apalagi jika ada embusan angin. Rasanya seperti berada di dalam freezer raksasa. Karena sudah malam dan besok kegiatan dimulai lagi pukul 08.00, kami memutuskan kembali ke hotel, New Otani Tokyo. Kanako memisahkan diri karena pulang. Ubon dengan percaya diri membawa kami mengulang jalan lagi menuju stasiunsubway. Sampai di Stasiun Akasaka Mitsuke, kami mesti berjalan kaki 10 menit ke hotel. Terasa luar biasa karena suhu menjadi 1 derajat Celsius.
Momen bisa belanja lagi terjadi pada hari kelima. Kali ini panitia memang memberi kami waktu untuk membeli oleh-oleh di Asakusa. Sejatinya, itu adalah kunjungan ke tempat histori karena di situ ada kuil Buddha ternama, Sensoji.
Di depan kuil terhampar jalan yang kanan kirinya berderet tanpa senggang toko-toko suvenir dan makanan khas. Barangnya menggemaskan. Banyak pernik-pernik cantik seperti yukata, magnet kulkas, payung, tas, dan bermacam rupa kokeshi (boneka kayu Jepang). Panjang jalan yang disebut Nakamise itu sekitar 200 meter.
Waktu yang diberikan satu jam saja. Saya pun menyusuri jalan itu sambil sekali-sekali (ya, ya, maksudnya sering kali) mampir ke setiap booth. Hingga tidak terasa 60 menit berlalu. Saya harus segera menuju meeting point agar tidak ketinggalan. Di dalam bus saya baru menyadari bahwa saya belum menikmati betul indahnya kuil tertua di Tokyo yang dibangun pada 645 tersebut. Hiks…
Dari Asakusa kami ke bandara, meninggalkan Tokyo menuju Kitakyushu. Tiba di sana hampir pukul 22.00 dan saya langsung tidur. Ketatnya jadwal yang diberikan ditambah perjalanan melelahkan membuat nyali window shopping sedikit mereda, tapi tidak pernah benar padam.
Hari kedua di Kitakyushu setelah acara selesai, kami kembali ke hotel. Sambil mencari makan malam sekitar pukul 20.00, saya pun keluar. Kami berjalan ke stasiun yang berjarak hanya 300 meter dari hotel. Di Stasiun Kitakyushu, ada mal yang menjual bermacam fashion item,khususnya untuk perempuan.
Meski tidak membeli satu pun, saya senang melihat tren baju musim semi yang mulai dihadirkan sebagai new arrival. Warna-warna pastel dimunculkan dalam beragam cutting, mulai yang feminin hingga edgy. Untuk koleksiwinter, sebagian sudah dipajang dengan tulisan special price atau diskon. Menurut Kanako, hampir di semua stasiun Jepang, pasti ada mal atau setidaknya minimarket.
Pada hari ketujuh, kami pindah distrik ke Beppu. Perjalanan dua jam dengan naik bus. Kami tiba pukul 19.00. Setelah meletakkan barang di kamar, saya menyusuri jalanan di Beppu sendirian. Di Jepang, meski malam, rasanya aman-aman saja berjalan tanpa teman. Saya pilih ke stasiun lagi. Ada beberapa minimarket yang buka. Saat perjalanan kembali ke hotel, saya mampir ke satu toko kecil di sudut jalan. Penjualnya manis, semanis barang-barang aksesori yang dijual. Harganya relatif murah. Saya dapat taplak meja besar baru bergaya shabby chic dengan harga tidak sampai 50 ribu rupiah.
Petualangan belanja terakhir saya terjadi di Fukuoka, malam sebelum keesokan pagi pukul 05.30 harus menuju bandara untuk pulang. Fukuoka kota besar yang menyediakan banyak tempat pilihan menukar yen dengan barang incaran (baca: lagi-lagi tempat belanja).
Hasil perjalanan itu membuat saya mesti menambah satu tas ketika pulang. Puas, senang, tapi merasa harus kembali lagi. Jepang bukan hanya tempat belanja. Saya mesti menjajal destinasi wisata yang lain. Emm, tapi