Wakil Ketua DPD Farouk Muhamad. (Ricardo/JPNN)
JAKARTA - Eksekusi mati terhadap terpidana narkoba di Indonesia kerap menimbulkan perdebatan. Tidak hanya dari dalam negeri, protes juga datang dari negara sahabat. Australia, Brasil, dan Belanda mengecam pelaksanaan eksekusi tersebut karena ada warga negaranya yang terancam hukum tersebut.
Beberapa kalangan di tanah air juga menyayangkan adanya hukuman tersebut karena dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). ”Memang, kalau dilihat setiap orang wajib menghormati HAM orang lain. Sebagaimana diatur oleh hukum negara, HAM harus dijunjung tinggi,” kata Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhamad dalam diskusi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/2).
Namun, dia menambahkan, tidak semua HAM itu dibebaskan. ”Sebab, ada HAM yang harus dipertanggungjawabkan,” tuturnya. Untuk kasus narkoba, harus diberikan hukuman sesuai dengan ketentuan pidana.
”Apalagi, sistem atau aturan hukum di negara Indonesia masih mengakui hukuman eksekusi mati bagi terpidana narkoba,” papar Farouk.
Kendati demikian, DPD mengharapkan, dalam 5-10 tahun mendatang, Indonesia tidak memakai hukuman tersebut. ”Kami berharap 5-10 tahun mendatang, hukuman eksekusi mati bagi terpidana narkoba akan dihapus kembali,” tutur Farouk.
Perubahan itu akan dilakukan secara bertahap. DPD akan meminta DPR untuk melakukan revisi undang-undang. ”DPD tidak memiliki kewenangan mengatur UU yang ada. Jadi, kami akan meminta anggota DPR untuk merevisinya,” tandasnya.
Menurut Farouk, hukuman mati bagi terpidana narkoba adalah langkah yang tepat untuk langkah awal atau jangka pendek. ”Sampai akhirnya, biar masyarakat sendiri yang menolak hukuman tersebut,” kata Farouk.
Di tempat yang sama, pakar hukum pidana Romli Atmasasmita menambahkan, kejahatan narkoba adalah kejahatan yang memiliki dampak luar biasa ketimbang korupsi. ”Satu gram heroin bisa membunuh 40 orang,” ungkapnya. ”Jadi, sebenarnya jangan dilihat dari pelanggaran HAM. Tetapi, dilihat dari berapa banyak korban yang akan habis ditelan narkoba. Dan ini sudah termasuk kejahatan kemanusiaan,” imbuh Romli.
Menurut guru besar Universitas Padjadjaran itu, polisi Indonesia tidak perlu takut dengan adanya tekanan dari berbagai pihak. Pemerintah pun jangan takut mengatakan tidak pada negara maju. (Rehdian Khartika/fal)