PAGODA DI DANAU: Kyauk Ka Lat, pagoda yang berdiri di tengah-tengah danau. Lanskap yang tersaji sangat elok. (Hariatni Novitasari for Jawa Pos)
Myanmar tidak pernah masuk daftar tujuan negara yang ingin saya kunjungi. Sebab, saya malas jika berjalan-jalan di Asia Tenggara karena harus mengurus visa. Namun dalam hati, saya penasaran dengan negara yang satu ini. Bagi saya, negeri yang dikuasai junta itu masih ’’diselimuti’’ misteri karena ketertutupannya dari dunia luar. Tidak banyak informasi tentang Myanmar yang bisa kita temukan di internet.
PERJANJIAN bilateral yang ditandatangani Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa dan Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Muang Lwin pada pertemuan ASEAN ke-24 di Nay Pyi Daw pada Mei 2014 mengubah segalanya. Dengan perjanjian itu, orang Indonesia bisa berkunjung tanpa visa ke Myanmar selama 14 hari. Saya-pun memutuskan mengunjungi negeri tersebut.
Mendarat di Yangon, saya disambut senyuman hangat petugas imigrasi di bandara. Sangat jarang saya melihat petugas imigrasi yang ramah. Umumnya, petugas imigrasi yang saya temui bermuka jutek. Di akhir perjalanan, saya menyimpulkan bahwa orang-orang Myanmar merupakan salah satu orang yang paling ramah dan baik di Asia Tenggara.
Untuk menjangkau satu tempat ke tempat lainnya, pengunjung sangat disarankan naik taksi karena kondisi angkutan umum di Yangon belum terlalu bagus. Taksi pun tidak terlalu mahal dan jumlahnya banyak sekali di Yangon. Umumnya, taksi di Yangon tidak dioperasikan perusahaan, tetapi pribadi. Untuk kota-kota, tarifnya 2.000–3.000 kyats (sekitar Rp 20 ribu–Rp 30 ribu), bergantung tawar-menawar dengan sopir taksi. Kalau tujuannya dekat, lebih baik berjalan kaki karena sistem tata Kota Yangon yang teratur dengan sistem blok peninggalan Inggris, alamat tidak terlalu sulit ditemukan.
Yangon yang terbesar dan mantan ibu kota tersebut sangatlah unik. Di jalan-jalan kota, hampir semua laki-kali yang saya jumpai mengenakanlongyi (sarung kalau di Indonesia). Begitu juga para perempuannya.
Orang Myanmar mengenakan longyi di mana-mana, mulai kumpul-kumpul di warung teh (tea house) sampai bekerja di kantoran, mulai anak-anak muda sampai bapak-bapak sepuh. Selain mengenakan sarung, para lelaki di sana masih mengunyah sirih. Sementara itu, para perempuan mengenakan bedak dingin yang disebut tanakha. Kalau di Indonesia, bedak dingin itu biasanya digunakan para perempuan di daerah-daerah kepulauan seperti Wakatobi.
Sebagai negara yang sedang ’’membangun’’, saat ini banyak sekali konstruksi apartemen atau gedung-gedung baru lainnya di Yangon. Saya yakin dalam lima tahun mendatang wajah Yangon yang saya lihat sekarang akan benar-benar berubah. Bangunan-bangunan baru mulai bermunculan. Antara lain, Hotel Shangri-La dan Novotel.
Gedung-gedung baru itu bercampur bangunan-bangunan lama yang arsitekturnya sangat bagus, sayangnya kurang terawat. Gedung-gedung tua warisan kolonial (Inggris) banyak dijumpai di pusat kota. Misalnya, Balai Kota Yangon dan Gedung Mahkamah Agung (Supreme Court) yang letaknya tidak jauh dari balai kota.
Di sekitar wilayah itu, masih banyak lagi gedung-gedung tua yang sangat menarik untuk dilihat dan arsitekturnya pun sangat bagus. Gedung-gedung warisan kolonial tersebut menjadi daya tarik ketika kita berjalan-jalan di pusat kota.
Selain melihat bangunan-bangunan tua sisa kolonial, tempat lainnya yang layak dikunjungi adalah Pagoda Shwedagon (Pagoda Emas) dan Pagoda Sule. Sebagai pagoda paling besar di Yangon, Shwedagon menjadi sasaran kunjungan, baik para turis domestik maupun mancanegara.
Selain mengunjungi dua pagoda itu, tempat menarik yang bsia dikunjungi adalah Bogyoke Aung San Market. Namun, kalau mau berkunjung ke pasar terbesar di Yangon itu, jangan saat Senin. Sebab, pada hari tersebut pasarnya tutup. Hal kecil itu yang terlewat sehingga saya tidak sempat mengeksplorasi isi pasar. Tentunya, saya pun terselamatkan dari kalap belanja. (Hariatni Novitasari/c15/dos)