EFISIENSI: Ruang sidang paripurna di gedung DPRD bisa menjadi lokasi pengganti rapat di hotel. (Dipta Wahyu/Jawa Pos)
Larangan mengadakan rapat di hotel bagi instansi pemerintah terus menuai pro-kontra. Pemkot Surabaya mendukung kebijakan tersebut karena bisa menghemat anggaran. Namun, Pemprov Jatim bersikap sebaliknya.
RAPAT di hotel telah menjadi budaya instansi pemerintah selama bertahun-tahun. Mulai rapat, seminar, hingga sosialisasi kebijakan daerah. Berbagai fasilitas pun diterima para pegawai negeri sipil (PNS) yang mengadakan rapat di hotel. Mulai fasilitas menginap, ruang rapat yang sejuk, hingga makan dan minum.
Namun, kemudahan dan kenyamanan itu terenggut oleh kebijakan baru Men PAN-RB Yuddy Chrisnandi. Melalui Surat Edaran (SE) Nomor 11 Tahun 2014, seluruh instansi pemerintah tidak boleh lagi rapat di hotel mulai 1 Desember 2014. Alasannya cukup logis: penghematan.  
Semula Gubernur Soekarwo menyambut baik kebijakan tersebut. Pemprov akhirnya memanfaatkan gedung-gedung milik negara untuk rapat atau kegiatan-kegiatan lain. Tetapi, hal itu, tampaknya, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kini pemprov merasa kebijakan tersebut sulit diterapkan. Sebab, yang terjadi bukanlah penghematan, melainkan pemborosan.  
Salah satu contoh adalah badan kepegawaian daerah (BKD) yang merupakan instansi dengan kegiatan sosialisasi cukup tinggi. Tahun ini BKD telah dua kali melaksanakan rapat koordinasi wilayah (rakorwil) se-Jatim. Rata-rata rapat tersebut diadakan di luar kota. Bahkan, bulan depan BKD juga mengagendakan rapat di Kota Malang.  
Rakorwil itu diadakan selama dua hari. Untuk mendapatkan layanan yang hampir mirip dengan hotel, BKD mencari gedung yang menyediakan tempat menginap. Sebab, rakorwil tersebut mengundang seluruh kabupaten/kota dengan jumlah peserta di atas 125 orang. ’’Biasanya urusan seperti ini bisa saya kerjakan dengan mudah. Cukup dengan jasa hotel, semua sudah diatur dalam paket,” ungkap Akmal Boedianto, kepala BKD Jatim.  
Karena rapat di hotel dilarang, BKD harus mengatur anggaran agar lebih efisien. Namun, pengeluaran untuk kegiatan tersebut ternyata sama saja dengan biaya fasilitas hotel. Meski lokasi rapat ada di aset milik negara, yakni gedung Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Malang, peserta rapat tetap menginap di hotel. ’’Sama saja kan, pemprov juga harus mengeluarkan biaya kamar hotel peserta rapat,” ujarnya.
Bahkan, untuk menyiasati hal itu, Akmal pernah menggunakan tempat di Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Malang yang memiliki fasilitas kamar inap. Namun, hal tersebut ternyata juga tidak efektif. Sebab, kamar yang tersedia di lanal tidak cukup untuk menampung banyak orang. Akibatnya, sebagian peserta rapat tetap menginap di hotel. Akhirnya anggaran tidak hanya dikeluarkan untuk biaya rapat, tetapi juga tempat menginap dan transportasi. ’’Terus kalau seperti itu, apa bedanya dengan rapat di hotel? Kecuali, kalau rapatnya hanya sehari, pasti bisa dan mungkin lebih hemat karena tidak pakai menginap,” ujarnya.  
Akmal menambahkan, akibat tidak rapat di hotel, pelaksanaannya sering molor. Sebab, para peserta berada di hotel berbeda. Padahal, jadwal rapat sudah ditentukan sesuai dengan materi yang disampaikan.
Akmal menyebut, hal itu tidak hanya terjadi di BKD. Saat Men PAN mengadakan rapat di Surabaya pun, muncul hal serupa. ’’Pengalaman rapat Men PAN di Surabaya juga gitu. Rapatnya menggunakan gedung milik negara, nginepnya di Hotel Santika. Apa tidak sama saja pengeluarannya?” katanya, bernada tanya.
Berdasar informasi yang dihimpun Jawa Pos, pengeluaran anggaran pemprov untuk rapat di luar hotel justru lebih banyak. Misalnya, biaya sewa gedung selama dua hari Rp 4,5 juta, sound system Rp 1,5 juta, serta kursi dan meja untuk 125 orang Rp 1,2 juta. Kemudian katering untuk dua kali makan Rp 18,5 juta dan coffee break Rp 1,8 juta. Total keseluruhan mencapai Rp 27,5 juta.  
Selain itu, untuk penginapan 125 peserta, setidaknya dibutuhkan 63 kamar. Per kamar biasanya dipatok Rp 450 ribu. Jadi, pengeluaran biaya menginap di hotel mencapai Rp 28,3 juta. Total anggaran yang diperlukan untuk biaya keseluruhan sebesar Rp 55,8 juta. Panitia juga masih membutuhkan anggaran lagi untuk tenaga kebersihan, penerima tamu, perlengkapan, dan katering. Rakorwil tersebut diperkirakan menghabiskan biaya Rp 60 juta.
Biaya itu tidak jauh berbeda dengan pengeluaran ketika rapat di hotel. Jika harga paket rapat per peserta sekitar Rp 480 ribu, biaya untuk 125 orang sekitar Rp 60 juta. ’’Kami tidak perlu repot lagi. Semua tinggal pakai. Kalau mengerjakan sendiri, kami sedikit ribet,” keluh salah seorang PNS di BKD yang enggan disebut namanya.
Bahkan, dia menyatakan, sejak Desember hingga pertengahan Maret, sudah dua kali diadakan rapat nonhotel. Hasilnya, terjadi pembengkakan biaya. Banyak pengeluaran tak terduga, seperti kebutuhan taplak meja, perangkat untuk katering, dan AC gedung yang mengalami masalah.
Selain itu, kadang dalam rakorwil panitia membutuhkan ruang selain rapat untuk pendaftaran peserta. Pemilik gedung pun mematok tarif baru, biasanya Rp 1 juta per hari. Kemudian, ruang katering yang ditempatkan terpisah juga membutuhkan ruang lain. Meski hanya digunakan beberapa saat, tetap saja panitia dikenai biaya penuh. Biaya setiap ruangan bisa mencapai Rp 1 juta–Rp 2 juta.  
Sulitnya pelaksanaan rapat di kantor atau gedung milik pemerintah itu akhirnya direaksi Gubernur Soekarwo dan Wakil Gubernur Saifullah Yusuf. Mereka meminta Men PAN-RB meninjau lagi kebijakan tersebut. Permintaan itu bahkan pernah disampaikan langsung Saifullah kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo saat bertemu di gedung DPRD Jatim beberapa waktu lalu.  
Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Jatim Akhmad Sukardi mengatakan, usul pemprov untuk mengkaji ulang SE Men PAN itu sudah dilakukan. ’’Tapi, sampai sekarang memang belum ada jawaban,” ujarnya.
Menurut dia, pemprov sering mengadakan rapat dengan mengundang kabupaten/kota. Hal tersebut berkaitan dengan kebijakan baru maupun koordinasi wilayah. Jika rapat itu dilaksanakan di kantor, tidak hanya terjadi pemborosan biaya katering dan peralatan rapat, tetapi juga biaya listrik, air, dan kebersihan. ’’Sebenarnya undang-undang tidak melarang melakukan kegiatan di hotel. Tetapi, karena ini SE Men PAN, pemprov menghormati,” jelasnya. (ayu/riq/c7/oni)