TAK MENYERAH: Raheem (kiri) saat ditemui pengacaranya, Utomo Karim, di Lapas Madiun. (Dok Utomo Karim)
SURABAYA – Raheem Agbaje Salami tidak menyerah. Terpidana mati kasus penyelundupan heroin seberat 5,2 kilogram itu mengajukan grasi untuk kali kedua. Tapi, permohonan tersebut langsung ditolak Pengadilan Negeri Surabaya.
Grasi itu diajukan Raheem yang berwarga negara Spanyol melalui kuasa hukumnya, Utomo Karim. Pengacara yang berkantor di Jalan Kebon Sirih, Jakarta, itu mendapat kuasa dari Raheem untuk mengajukan grasi lagi kepada presiden. ”Saya sudah bertemu langsung dengan yang bersangkutan,” kata Karim.
Berkas permohonan grasi tersebut didaftarkan ke pengadilan di Jalan Arjuno itu pada Jumat pekan lalu. Di sana dia bertemu dengan panitera sekretaris dan wakil panitera sekretaris PN Surabaya. Hanya, mereka menolak menerima permohonan itu dengan dalih ketua pengadilan sedang sakit.
Tidak putus asa, dia kembali ke sana pada Selasa (24/2) dan Rabu (25/2). Lagi-lagi, jawaban yang didapatnya sama. PN tidak mau menerima pendaftaran permohonan grasi itu dengan alasan ketua PN masih sakit. ”Saya sangat menyayangkan kejadian ini,” jelasnya.
Karim mengatakan, dalam proses pengajuan grasi, pengadilan hanya meneruskan permohonan yang didaftarkan. Pengadilan tidak berhak menolak karena yang menentukan adalah presiden. Akhirnya, dia mengirimkan surat permohonan itu dengan menggunakan jasa ekspedisi.
Salah satu alasan permohonan itu adalah penolakan grasi dianggap tidak sah. Karim mengatakan, Raheem mengajukan grasi pada 6 September 2008. Saat itu berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002. Ketika ada perubahan undang-undang tersebut pada 2010, terdapat pasal 15 A ayat 1. Intinya, permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasar Undang-Undang 2002 harus diselesaikan paling lambat 22 Oktober 2012.
Kenyataannya, presiden baru menyatakan menolak grasi tersebut pada awal 2015. Karena itulah, dia menganggap bahwa penolakan grasi yang dikeluarkan presiden itu tidak sah. ”Maka, saya mengajukan grasi lagi,” katanya.
Dia mengatakan, selama ini Raheem sudah menjalani hukuman 17 tahun penjara. Selama tinggal di penjara, kliennya berkelakuan baik. Raheem juga sadar bahwa perbuatannya melanggar hukum di Indonesia. Karena itulah, dia memohon ampun kepada bangsa Indonesia. Dalam permohonan grasi tersebut, Raheem menginginkan presiden mengubah hukumannya. Vonis yang awalnya hukuman mati diminta untuk diubah menjadi pidana penjara 20 tahun. ”Hukuman itu sesuai vonis di persidangan tingkat pertama,” jelasnya.
Raheem ditangkap di Bandara Juanda pada 1999 karena kedapatan membawa 5,2 kilogram heroin. Warga negara Spanyol itu diproses hukum dan langsung divonis hukuman mati. Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, dia mengajukan grasi pada 11 September 2008. Jawaban grasi tersebut baru turun tujuh tahun kemudian dan isinya ditolak. (eko/c6/ayi)