RUMAH-RUMAH ATAP LANGIT: Ciri khas rumah di Nepal. Bersahaja dengan atap datar yang terbuka. (Citra Hennida for Jawa Pos)
Pada Desember 2014, saya pergi ke Nepal, negeri atap dunia. Delapan puncak tertinggi dunia berada di wilayah negara tersebut. Yang terkenal, tentu saja adalah Everest. Tetapi, bukan gunung jangkung itu saja yang membuat ketenaran Nepal melambung.
KEINGINAN saya untuk pergi ke Nepal sebenarnya muncul sejak kecil. Yakni, ketika saya membaca komik Tintin ke Tibet. Salah satu setting-nya adalah Nepal. Benar saja, cover komik tersebut menjadi cenderamata dalam bentuk hiasan rumah, kaus, dan magnet kulkas. Lagian, bendera negara itu aneh. Bentuknya tidak kotak.
Tujuan utama saya ke Nepal adalah menghadiri konferensi akademik. Papersaya termasuk yang terpilih untuk dipresentasikan. Awalnya, saya ragu untuk berangkat karena saya adalah solo traveler.
Biasanya tidak akan ada masalah kalau saya bepergian ke negara-negara maju dengan moda transportasi yang sudah nyaman, aturan yang jelas, dan tingkat keamanan yang lebih baik. Saya sedikit ragu ketika bepergian di negara-negara miskin dan berkembang. Saya nekat berangkat antara keingintahuan melihat negara atap dunia dan berusaha meyakinkan diri toh di sana nanti bertemu teman-teman baru di konferensi.
Ternyata tidak semua prasangka saya benar. Banyak penerbangan ke Kathmandu –ibu kota Nepal– dari kota-kota besar di Asia Tenggara seperti dari Singapura, Bangkok, dan Kuala Lumpur. Untuk Indonesia, tidak ada penerbangan langsung.
Karena anggaran terbatas, saya memilih menggunakan LCC dari Kuala Lumpur dan sekali transit di Dhaka, Bangladesh. Terbang dengan LCC harus siap-siap terbang dengan para buruh migran yang agak susah diatur dan punya banyak bagasi.
Di penerbangan paling malam Dhaka–Kuala Lumpur, saya bahkan adalah satu-satunya penumpang perempuan; selebihnya merupakan para buruh migran laki-laki Bangladesh yang akan bekerja di Kuala Lumpur. Karena itulah, perjalanan jauh membuat Anda sangat religius: harus banyak berdoa agar semua lancar!
Saya berada di Nepal sekitar lima hari. Dua hari untuk acara konferensi. Sisa tiga hari untuk wisata sekitar Nepal. Nepal tidak melulu berbicara hiking, trekking dan wisata-wisata petualangan ekstrem lainnya. Bagi saya yang tidak biasa naik gunung, Nepal menawarkan wisata yang lain: wisata sejarah dan agama.
Gambaran Kathmandu adalah sebuah kota tua dan berdebu. Karena letaknya yang landlocked serta dikuasai keluarga kerajaan yang tertutup dan berbagai pemberontakan oleh kelompok Maoist, Nepal terasing dan tidak berkembang. Sisa-sisa kerajaan banyak tersebar. UNESCO menetapkan ada tujuh warisan budaya yang tersebar di tiga kota kuno Kathmandu, Patan, dan Bhaktapur. Mengamati Nepal memang bak berjalan dalam sebuah museum hidup.
Lantaran waktu terbatas, tidak semua warisan UNESCO saya kunjungi. Saya mengunjungi empat tempat saja. Yaitu, Kathmandu Durbar Square, Patan Durbar Square, Pashupatinath, dan Boudhanath. Tiga yang pertama dipengaruhi Hindu, sedangkan yang terakhir adalah sebuah stupa besar Buddha.
Nepal memang banyak dipengaruhi Buddha dan Hindu. Kota Lumbini, 8 jam berkendara dari Kathmandu, dipercaya sebagai tempat lahirnya Siddhartha Gautama. Pengaruh Hindu banyak dibawa India pada sekitar abad ke-12. Banyak kuil dan patung dua agama tersebut yang tersebar di berbagai penjuru kota.
Ajaran-ajaran Buddha dan Hindu yang mengetengahkan ketenangan dan harmoni alam memunculkan banyak sekolah yoga di Nepal. Konon kabarnya, ada sertifikasi yoga yang terbaik di Nepal.
Durbar Square adalah sebutan untuk alun-alun kota di kompleks kerajaan dan kuil-kuil serta perpaduan antara politik dan agama. Pashupatinath merupakan sebuah kompleks kuil Hindu dan tempat upacara pembakaran mayat. Kompleks itu besar sekali dan setiap hari ada saja mayat yang dibakar. Sayangnya, saya tidak bisa masuk ke dalam kuil karena saya muslim.
Di kompleks tersebut, ada juga orang-orang suci yang bisa diajak mengobrol dan berfoto. Orang suci itu mengabdikan dirinya untuk bersembahyang dan bermukim di kompleks kuil. Mereka meninggalkan keluarga dan kehidupan duniawi. Mereka mudah dikenali karena janggutnya yang panjang dan seluruh tubuhnya yang diwarnai putih.
Kalau Anda berniat berfoto dengan mereka siapkan uang sekitar 50 rupee, lalu taruh kantong. Jangan tunjukkan dompet karena bisa jadi mereka akan mengambil semua uang Anda. Jika tidak memberi uang, Anda bisadisumpahin. Horor kan kalau sampai disumpahin orang suci.
Boudhanath adalah sebuah stupa besar dengan monumen berlukisan mata Buddha di atas stupa. Meski Borobudur adalah candi Buddha terbesar, stupa terbesar di dunia adalah Boudhanath. Itu hasil penjelasan guide yang menyertai saya keliling Kathmandu. Senang juga Indonesia dikenal di sini. Pertama karena Bali identik Hindu. Kedua karena Borobudur adalah candi Buddha paling gede.
Menunduk-nunduk di Rumah Warga
HAL menarik lainnya yang bisa diamati di Nepal adalah kehidupan warganya. Kehidupan masyarakat Nepal dikenal sebagai kehidupan di atas atap. Setiap rumah di Nepal dibangun tinggi antara empat sampai tujuh tingkat dengan atap terbuka.
Atap itu biasanya digunakan untuk makan dan berkumpul sambil mengamati aktivitas di bawah. Rumah-rumahnya kecil, sempit, dan berlangit-langit rendah. Konon kabarnya, dulu orang Nepal bertubuh pendek dan kecil.
Orang Nepal sangat ramah dengan pendatang. Buktinya, mereka memperbolehkan kami masuk ke rumah-rumah mereka. Saya dan teman-teman mencoba masuk. Hasilnya, beberapa kali kepala terbentur dan harus meraba-raba dalam gelap. Saya yang ukuran Asia saja terbentur, apalagi teman-teman saya dari Eropa dan Amerika yang keningnya sampai lecet-lecet.
Tentu, saya juga melihat Himalaya. Barisan gunung Himalaya sudah terlihat menakjubkan dari atas pesawat. Kota terdekat untuk melihat Himalaya dengan jelas adalah Pokhara, sekitar 6 jam perjalanan dari Kathmandu ke arah utara.
Bila cuaca bagus, sebenarnya Himalaya bisa terlihat dari Kathmandu. Tetapi, takkan semegah kalau melihatnya dari Pokhara. Di Pokhara, ada pula permukiman bagi pengungsi Tibet. Saya dan seorang profesor dari Yunani menyewa mobil dengan sopir untuk pergi ke sana dan berencana menginap semalam di Pokhara.
Namun, keberuntungan tidak banyak berpihak kepada kami esok paginya. Cuaca mendung membuat kami tidak bisa menikmati matahari terbit di Sarangkot. Sarangkot adalah wilayah pegunungan semacam Pananjakan di atas Bromo.
Kembali ke hotel sambil menunggu datangnya jemputan pada siang hari, saya banyak mengamati para pendaki yang melakukan persiapan. Segerombolan pemuda berbagai bangsa dengan tas-tas punggung besar. Biasanya orang ke Pokhara memang ditujukan untuk hiking dan trekking. Pokhara lebih dekat dengan base camp Annapurna, salah satu gunung tertinggi di barisan Himalaya yang puncak tertingginya mencapai 8.000 meter.
Jarak trekking terpendek ke Annapurna minimal jalan kaki selama empat hari untuk sekali jalan. Mendengarnya saja saya lelah duluan. Setelah saya mengobrol dengan para pendaki tersebut, ternyata langit cerah. Akhirnya, Himalaya terlihat dari hotel tempat kami menginap. Memang, saya sedikit kecewa karena jaraknya tidak sedekat jika melihatnya di Sarangkot, but, after all, missions are completed.
Ternyata memilih tempat yang tidak begitu populer bagi turis manja seperti saya ini tidak jelek-jelek amat. Alih-alih memilih Eropa, saya mulai berpikir untuk pergi ke Machu Picchu, Peru, suatu saat nanti. (*/c14/dos)