Ilustrasi: Agung Kurniawan/Jawa Pos
PRESIDEN Joko Widodo lagi-lagi membuat kening berkerut. Sembari menetapkan target pajak 2015 Rp 1.295,6 triliun atau hampir Rp 1.300 triliun, dia memberi insentif remunerasi yang fantastis. Total ’’vitamin’’ untuk pemungut pajak itu Rp 4,1 triliun. Tunjangan terbesar diberikan kepada Dirjen Pajak Rp 117 juta per bulan. Pegawai-pegawai bawahannya juga diberi tunjangan fantastis.
Itu ibarat hadiah diberikan sebelum target tercapai. Tunjangan kinerja tersebut memang tidak sepenuhnya diterima bila target tidak tercapai. Tetapi, setidaknya 50 persen dari jumlah tunjangan itu diterima kalau pencapaian target di bawah 70 persen. Masih sangat banyak untuk ukuran target meleset.
Iming-iming pada pegawai Ditjen Pajak tersebut menunjukkan bahwa Jokowi memang ingin merogoh kantong rakyat dalam-dalam. Pada 2014 realisasi pajak Rp 981,9 triliun atau 91,5 persen dari target Rp 1.072 triliun. Jokowi justru berambisi menambahkan hampir Rp 314 triliun.
Ketika rezim Jokowi merogoh kantong rakyat lebih dalam, perlu dicermati sikap moral pemerintahannya. Jokowi telah melakukan banyak langkah yang mencederai janjinya. KPK melemah, remisi koruptor bakal longgar, ketidakpastian hukum meningkat, pemilihan pejabat tak lagi mengutamakan integritas, bagi-bagi kekuasaan tim sukses merajalela, harga-harga melonjak –untuk menyebut beberapa indikasi melemahnya harapan.
Pada saat janji setia Jokowi luntur, dia justru ingin rakyat menyediakan uang lebih banyak untuk membiayai pemerintahannya. Jokowi menggunakan instrumen ’’permen’’ dan ’’cambuk’’ dengan bersemangat. Para pengumpul pajak diiming-imingi ’’permen’’, wajib pajak diacungi ’’cambuk’’. Kalau tidak mau membayar, wajib pajak didenda besar atau bahkan disandera (gijzeling). Itu ibarat suami suka selingkuh, tapi menuntut istri makin banyak melayani. Alangkah paradoks.
Jokowi semestinya mengevaluasi sikap moralnya. Terlalu banyak kepedihan dari pemilihnya akibat langkah-langkahnya di awal pemerintahan. Jokowi terkesan tidak lebih dari sekadar pemain kekuasaan biasa yang tricky. Dan, seakan tanpa perlu mengevaluasi diri tentang sikap moralnya, enteng saja meminta uang lebih banyak kepada rakyat.
Entah bagaimana ’’menyadarkan’’ Jokowi. Apalagi dia juga sudah tidak menyebut-nyebut Nawa Cita atau Revolusi Mental. Padahal, rakyat jelas lebih ikhlas kalau membiayai pemerintah yang setia pada janjinya.
Salam Rp 1.300 triliun! (*)