RIMBA PERAWAN: Titian anjungan ini adalah salah satu tempat favorit turis untuk menjelajahi sebagian kecil hutan di Taman Nasional Tanjung Puting. (Thoriq S. Karim/Jawa Pos)
NAMA Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, akhir-akhir ini sering disebut di media. Maklum, di kabupaten itu, korban pesawat AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 dievakuasi, kemudian diterbangkan ke Surabaya. Meski begitu, ada pemandangan lain yang tidak kalah indah di kabupaten tersebut.
TAMAN Nasional Tanjung Puting adalah tempat konservasi terbesar di dunia. Lokasi itu memiliki luas 415.050 hektare dengan medan sungai dan hutan. Taman tersebut sudah ditetapkan sebagai suaka margasatwa pada zaman penjajahan Belanda.
Sedikitnya 40 ribu orang utan hidup bebas di hutan tersebut. Namun, bebas tidak berarti mereka hanya ada di hutan dan tidak bisa dilihat pengunjung. Siapa saja bisa berkunjung dan menikmati tantangan sekaligus keindahan di taman nasional itu.
Tidak sulit mengunjungi taman tersebut. Perjalanan udara akan dimulai dari Pangkalan Udara Sultan Iskandar. Di pangkalan itu, hanya tiga maskapai yang beroperasi. Yakni Trigana Air, Susi Air, dan Kalstar Air. Mereka melayani rute dari Semarang, Surabaya, Banjarmasin, dan Jakarta.
Selama perjalanan dari Pangkalan Udara Sultan Iskandar, pengunjung bisa melihat suasana Pangkalan Bun. Pemandangan pesisir pun akan terlihat. Mulai Bundaran Pancasila, bundaran monyet, hingga terakhir dermaga wisata Pelabuhan Kumai.
Di dermaga itu, banyak klotok, kapal kayu berukuran besar, dan speedboat. Dua jenis armada tersebut melayani wisata menuju ke Taman Nasional Tanjung Puting. Tentu, harga setiap armada berbeda.
Sewa klotok per hari mencapai Rp 1,5 juta–Rp 2 juta. Kapal itu memiliki dua lantai. Di lantai dasar, biasanya terdapat kamar dan ruang istirahat. Lantai dua diisi meja makan serta tempat duduk santai.
Kecepatan kapal klotok tidak lebih dari 15 kilometer per jam. Cukup lambat dibandingkan dengan speedboat. Karena itu, perjalanan dengan menggunakan klotok butuh waktu sehari. Bahkan, tidak jarang ada yang menginap di kapal tersebut.
Biasanya, wisatawan asing lebih menyukai perjalanan malam. Sebab, mereka bisa melihat kunang-kunang. Selain itu, biaya Rp 1,5 juta–Rp 2 juta tersebut sudah termasuk makan selama di klotok dan masuk ke tempat wisata. Penumpang pun tidak perlu kesulitan jika hendak ke toilet. Sebab, disediakan ruang kecil untuk kebutuhan tersebut di kapal itu.
Dari dermaga wisata Taman Nasional Tanjung Puting, perjalanan pun dimulai. Pengunjung akan menuju ke kawasan hutan di seberang pelabuhan tersebut. Sebelumnya, ada pintu masuk dengan patung monyet di pesisir sungai itu. Di situlah kapal mengarah ke Sungai Sekonyer. Sungai tersebut merupakan jalan menuju ke Taman Nasional Tanjung Puting.
Selama menyusuri sungai, pengunjung akan melihat rambu lalu lintas. Ya, sungai itu ibarat jalan raya. Tanpa tanda rambu, dikhawatirkan terjadi tabrakan antarkapal. Maklum, meski sungai, jalur lalu lintasnya cukup padat.
Jangan pernah mengunjungi Taman Nasional Tanjung Puting tanpa didampingi pemandu. Sebab, banyak aturan tidak tertulis yang harus ditaati. Misalnya, dilarang mandi dan asal mengeluarkan anggota badan ke arah sungai.
Anang Fahmi, pemandu setempat, menceritakan kisah wisatawan asing yang mandi di sungai tersebut. Dia dimangsa buaya dan dibawa lari ke rawa. Selang tiga hari, jasad wisatawan itu ditemukan mengapung dengan kondisi luka di bagian pantat. ’’Tidak perlu takut, tapi tetap waspada,’’ paparnya.
Sekitar satu kilometer dari pintu masuk Sungai Sekonyer, pengunjung akan bertemu dengan bangunan dari kayu di sisi kiri. Bangunan itu merupakan satu-satunya hotel di dalam hutan. Ongkos menginapnya Rp 300 ribu–Rp 400 ribu.
Banyak wisatawan asing yang menginap di hotel tersebut. Suasana hutan ketika malam pun benar-benar terwujud. Jangan khawatir, meski di tengah hutan, hotel itu dilengkapi listrik bertenaga genset.
Setelah melewati hotel, pengunjung akan melihat sisi kanan posko tiket. Posko itu berbentuk rumah papan. Pemandu akan merapatkan klotok maupun speedboat ke posko tersebut. ’’Setiap kapal dikenai Rp 150 ribu per hari,’’ ujar Anang.
Tidak lebih dari 10 menit, tiket pun sudah ditangan. Penjelajahan hutan belantara berlanjut. Hutan semakin lebat, suasana juga semakin sepi. Kicauan burung dan sesekali suara monyet terdengar di sepanjang perjalanan.
Pagi Monyet, Siang Orang Utan
BERKUNJUNG ke Taman Nasional Tanjung Puting harus menyesuaikan waktu. Patokannya adalah waktu makan binatang yang hendak dilihat. Monyet di camp leaky biasanya dapat dilihat pukul 08.00–10.00. ’’Pada waktu itu, mereka keluar mencari makan,’’ kata Anang Fahmi, sang pemandu.
Dia pun menunjukkan lokasi camp leaky yang jaraknya 1,5 kilometer dari posko tiket. Di tempat itu, ada dermaga kecil. Banyak klotok dan speedboatpengunjung yang merapat di dermaga itu.
Setelah merapat, pengunjung berjalan sekitar 1,5 kilometer. Anang selalu memperingatkan pengunjung untuk tidak bersuara keras. Sebab, hutan tersebut masih belantara. Ketidaksopanan pengunjung dikhawatirkan membuat ’’penjaga hutan’’ marah. ’’Kepercayaan mistik di sini masih kuat,’’ ungkapnya.
Ada yang mengungkapkan, perjalanan ideal ke Taman Nasional Tanjung Puting adalah Juli hingga September. Memang benar, kala itu memasuki musim kemarau. Jarang ada buah di tengah hutan. Monyet pun cenderung mencari makan di luar hutan.
Sebaliknya, pada musim buah, monyet akan mencari makan di hutan. Jarang ada yang keluar. Suasana tersebut terbukti, wisatawan lebih dari 30 menit menunggu di tempat itu. Beberapa pemandu berusaha berteriak layaknya Tarzan. Mereka memanggil monyet untuk keluar dan makan pisang yang sudah disediakan.
Menjelang siang, perjalanan berlanjut ke kamp orang utan. Jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari camp leaky. Perjalanan juga ditempuh melalui Sungai Sekonyer. Di sepanjang perjalanan, banyak bekantan yang bergelantungan di tepi sungai. Mereka mencari daun untuk dimakan. Biasanya, hewan lain seperti tupai, babi, dan buaya ikut muncul.
Tidak lebih dari 15 menit, kami sampai ke kamp orang utan. Selain dermaga, di sana ada tempat peristirahatan semacam gazebo di pintu masuk. Wisatawan biasa memanfaatkan gazebo itu untuk makan siang. Biasanya, di gazebo itu pula orang utan datang. Terbukti, pukul 12.30 orang utan datang berjalan melalui jogging track di area kamp. Ia bernama Siwi. Ia merupakan ratu di antara 40 ribu orang utan di hutan tersebut.
Kamp orang utan adalah tempat terakhir wisata Taman Nasional Tanjung Puting. Selesai dari kamp itu, pengunjung kembali ke dermaga wisata Pelabuhan Kumai. Perjalanan yang cukup jauh dengan banyak pemandangan yang bisa dijadikan cerita. (*/c15/dos)