Perjuangan Tim Balap Sepeda Perempuan Afghanistan Meraih Prestasi
Berlatih di Tempat Sepi, Jadi Korban Pelecehan
11/03/15, 16:37 WIB
Di masyarakat yang belum sepenuhnya mengenal kesetaraan gender seperti di Afghanistan, lahir sebuah tim balap sepeda perempuan. Tidak mudah untuk sekadar mendapat pengakuan apalagi penghargaan. Inilah perjuangan mereka.
Seorang bocah berbaju gamis lusuh menghentikan langkahnya di pinggir jalan dan melemparkan pandangan lekat-lekat kepada serombongan perempuan bersepeda itu. Dia menyaksikannya dengan takjub serta penuh tanya.
Bukan tanpa alasan timnas sepeda perempuan Afghanistan memilih berlatih di jalan lengang di luar ibu kota. Alasan utamanya adalah menghindari pandangan negatif kebanyakan orang tentang perempuan yang berolahraga dan beraktivitas di luar rumah.
Di bawah kekuasaan rezim Taliban pada 1990-an, perempuan Afghanistan dimarginalkan dari kegiatan-kegiatan publik. Mereka tidak boleh bersekolah. Bahkan, untuk keluar rumah saja, mereka harus mendapat izin dari anggota keluarga laki-laki.
Hak-hak perempuan mulai mendapat perhatian sejak kekuasaan kelompok garis keras tumbang pada 2001. Namun, banyak pengamat yang mengkhawatirkan perkembangannya karena masih kerapnya kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, perwakilan perempuan dalam parlemen masih dikesampingkan.
’’Kami bertekad menjaga komitmen untuk memperjuangkan hak-hak perempuan,’’ tegas Presiden Afghanistan Ashraf Ghani saat pidato kenegaraan memperingati Hari Perempuan Nasional, 8 Maret.
Ketika timnas kriket dan sepak bola putra Afghanistan telah menikmati dukungan penuh pemerintah serta masyarakat, tidak demikian halnya dengan atlet perempuan. Mereka masih menghadapi tekanan keluarga serta dukungan masyarakat yang setengah-setengah.
Tahun lalu, timnas kriket perempuan dibubarkan karena mendapat ancaman serangan dari Taliban. Masalah lainnya adalah minimnya stok pemain. Di tengah mundurnya perkembangan sejumlah nomor olahraga perempuan di Afghanistan, balap sepeda menjadi salah satu yang terus maju. Mereka tetap getol berlatih, meski tidak digaji dalam beberapa bulan terakhir.
Untuk berlatih, personel tim harus mengangkut sepeda dengan mobil dan berkendara bersama pelatih ke luar ibu kota. Di sana, pakaian olahraga dan celana panjang mereka yang tidak mafhum dipakai di depan publik tidak banyak menarik perhatian. Mereka tetap mengenakan hijab yang ujungnya diselipkan pada jaket.
Selama bersepeda, pelatih memimpin rombongan di dalam mobil. ’’Pelatih seperti sebuah tameng untuk kami. Kalau dia tidak di sini, kami tidak bisa berlatih,’’ tambah Yousufi seperti dilansir Reuters.
Meski demikian, terkadang masih ada saja pengendara mobil yang berteriak memaki mereka. Bahkan, kapten tim mengalami cedera punggung setelah seorang pria pengendara motor berusaha melecehkannya dari belakang.
Sang pelatih yang juga merangkap presiden Federasi Olahraga Sepeda Afghanistan, Abdul Sadiq Sadiqi, terus menyemangati anak asuhnya dan tidak terlalu memedulikan ancaman dari luar. ’’Mereka (pelaku kekerasan dan pelecehan) adalah orang-orang yang tidak mengizinkan anak-anak (perempuannya) pergi ke sekolah,’’ ungkapnya.
Sejauh ini, lebih dari 40 perempuan tergabung dalam tim. Mereka berusia 17–21 tahun. Personel intinya sudah berlaga dalam beberapa ajang balapan internasional. Yousufi bertekad menjadi perempuan Afghanistan pertama yang bisa turun dalam ajang Tour de France. ’’Tak ada yang akan menghentikan kami,’’ tegasnya.
Tidak hanya memancang target berlaga di Olimpiade 2020, timnas sepeda perempuan Afghanistan punya misi lebih besar dari sekadar prestasi. Mereka ingin lebih banyak perempuan di Afghanistan yang bisa bersepeda.’’Bagi kami, sepeda adalah simbol kemerdekaan. Kami bersepeda tidak untuk menunjukkan perlawanan politik. Kami bersepeda karena kami menginginkannya, kami mencintainya. Jika saudara laki-laki kami bisa, kami juga harus bisa,’’ ujar Marjan Sidiqqi, 26, anggota tim yang merangkap asisten pelatih. (cak/c5/ca)
0 komentar:
Posting Komentar